Laman

Senin, 29 Juni 2015

Flashback

Sejenak memaksa memori otak kembali ke beberapa tahun yang lalu...

#Now Playing : The Beatles-Yesterday

Memori saya terhenti pada seorang anak lelaki dengan seragam putih biru yang sedang berdiri didepan kelas, memperkenalkan dirinya dengan malas dan sepertinya enggan untuk membiarkan orang lain untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan langsung dengannya. Ya memang saat itu setiap anak diwajibkan untuk memperkenalkan diri didepan kelas, tradisi untuk mengenal satu sama lain ketika kita baru menginjakkan kaki di sekolah baru bukan? Saya ingat persis bagaimana ia dengan langkah malasnya berjalan ke depan kelas memperkenalkan namanya, hobinya, rumah tempat tinggalnya, dan segalanya yang ia harus jawab ketika guru atau murid lain bertanya. Tapi saya bukannya mendengar setiap kata yang ia ucapkan justru saya seperti terhipnotis ketika melihat cara ia berbicara dan... wajahnya. Dia tinggi, terlampau tinggi untuk seusianya, tatapan matanya tajam ditambah alis tebal dan garis rahang lurus tegas terpampang indah mempertegas raut angkuhnya, rambutnya yang sengaja dibuat berantakan justru menambah pesona pada wajahnya. Ya, dia tampan. Haha bahkan saya yang saat itu dengan usia yang sangat belia sangat jeli dalam menilai lawan jenis. Jujur saya penasaran.., setiap saya melihat wajah dingin anak itu, rasanya seperti candu, selalu ingin melihat wajah langka senyum itu dan itu membuat saya tidak berani menyapanya duluan, entahlah mungkin ada sedikit rasa kurang percaya diri? Hmm...
Saya satu kelas dengannya, dan selama waktu berjalan, tidak pernah sekalipun berbicara dengannya! Bayangkan! Betapa bodohnya, mengapa saya hanya berani melihatnya diam-diam dari kejauhan? Wajah itulah alasannya, betapa angkuhnya wajah itu sekalipun kau hanya melihatnya sekilas, ekspresi yang menakutkan namun sangat memikat.

Dan ada sebuah hari yang sangat menyenangkan, meskipun orang lain menganggapnya suatu hal yang biasa, kau tau? Saat itu jam istirahat, saya dan Eka berjalan kembali ke kelas, dan ketika didepan kelas sekumpulan anak laki-laki kelas saya sedang bermain di depan kelas, saat itu saya melihat si wajah dingin bersama satu anak terjahil dikelas saya, namanya Ali. Memang dasar jahil si Ali itu, dia menyilangkan kakinya ke arah masuk pintu kelas ketika saya hendak berjalan masuk, dan itu membuat saya nyaris saja terjatuh dan otomatis saya memukuli polah si Ali. Dan kau tau? Anak itu, wajah dingin misterius itu tertawa! Menertawai saya dan Ali, anggap saja begitu. Dan itu pertama kali saya melihat gurat ceria di wajahnya ketika ia tertawa didepan mata saya persis. Seketika apa yang saya rasakan saat itu benar-benar menganggu, bagaimana tidak? Rasanya gugup, gelisah, jantung berdebar-debar, seperti ingin lari saja tapi kau tak bisa! Saya sepenuhnya terhipnotis olehnya! Lalu saya memutuskan, saya pikir saat itulah saya merasakan yang namanya First Love? Hey... Bukankah itu perasaan orang dewasa? Bagaimana kau bisa langsung menyimpulkan bahwa itu First Love? Saya seolah mendengar otak lain saya berteriak.
Memang benar, saya pikir tidak ada kata lain yg tepat untunk menggambarkan perasaan saya waktu itu selain kata itu kan? First love maybe? Ah sungguh indah perasaan itu... Dan akan kusimpan dalam hati, sebagai rasa yang indah dari gadis usia 13 tahun. Dan tak ada yang perlu disesali jika hanya bisa disimpan di hati saja, karena lebih baik jika terlihat misterius bukan? Misterius seperti anak itu...

#gmh

Rabu, 24 Juni 2015

Jilboobs?

Hell-o guys! Assalamu’alaikum!!
Bulan Ramadhan ini semoga semakin membawa berkah yaaa, seperti postingan saya kali ini yang semoga bisa menjadi renungan ala kadarnya *apasih*
Kali ini izinkan saya bercerita, berargumen, berpendapat atau apapun itu secara objektif. Serius saya berusaha seobjektif mungkin, dan tentu saja berdasar apa yang saya lihat dan saya dengar. Jadi ya memang faktanya begitu tanpa ada bualan sedikitpun.

*krik..krik..krik*

Hmmm...

Apa yang kamu fikir tentang cewek berjilbab? Maksud saya.. Wanita berkerudung? Eh atau sama aja kali ya? Hmm..
Bicara tentang agama, saya memang bukan pakarnya apalagi kalau harus mendebat hal-hal yang dari segi manapun dapat menyentuh sisi kesensitifan seseorang apalagi jika orang itu sangat memegang teguh suatu keyakinannya, tetapi bukan berarti saya golongan atheis, bukan sama sekali. Agama saya Islam seratus persen! Alhamdulillah bukan Islam KTP, Aamiin. Walau sampai saat ini saya masih mencari kemantapan hati untuk berkerudung. Hmm..
Saya heran, akhir-akhir ini memang sedang tren “jilboobs”, kalo nggak tahu jilboobs, searching aja di google. Disitu dijelaskan bagaimana para wanita berjilbab, tetapi baju-baju mereka ketat sampai bagian tubuh yang seharusnya tertutup justru terlihat lekuk-lekuknya. Saya nggak habis pikir, lantas apa tujuan mereka berjilbab jika mereka masih suka mengumbar lekuk-lekuk tubuhnya bahkan ada beberapa yang memakai baju tertutup tapi terlihat transparan pada bagian tertentu?
Saya punya teman yang demi privasinya nggak akan saya sebut namanya, jadi anggap saja namanya Mimin. Jadi Mimin adalah teman saya sewaktu SMP, terakhir kami ketemu beberapa minggu yang lalu secara kebetulan di sebuah tempat yang nggak akan saya sebut dimana. Yang jelas masih di Bumi Nusantara, di kota kecil Tanah Air Banjarnegara. Hehe. Sebenarnya dulu saya nggak akrab-akrab banget sama Mimin, ya hanya sekedar teman yang mengobrol ala kadarnya, tapi untuk segi teman, kami cukup dekat. *Nahlo?* Dulu Mimin dimata saya ini sederhana, ya maklum masih anak SMP yang penampilannya masih polos-polosnya, saya bilang itu dulu. Kalau sekarang beda. Sekarang anak SD saja dandanan udah salah gaul! Mereka masih bau kencur tapi selera pakaian udah kayak gaya-gaya girlband K-Pop yang masuk kategori dewasa. Hmm.. kembali ke Mimin, dulu Mimin bahkan termasuk golongan yang anti pakai bedak. Apalagi pelembab. Baju seragam pun longgar banget! Saku baju aja nyampe ke perut, rok biru ukuran ¾ jauh dibawah lutut, semua serba kebesaran dan sederhana. Khas Mimin pokoknya. Ke sekolah nggak neko-neko pakai atribut diluar aturan sekolah, semua serba polos dan sederhana. Begitulah yang saya ingat dari sosok Mimin saat SMP. Ketika beberapa minggu lalu bertemu Mimin, mulanya saya nggak ngeh kalo itu Mimin sampai dia manggil nama saya…

Mimin: “Heh! Lane kan?” sapa Mimin sambil menepuk bahu saya dari belakang.

Saya: (Bengong sambil cengar-cengir) “Eh kok kaya pernah liat ya hehe, siapa ya?”

Mimin: “Lanee ih sombongnyaaaa, aku *sensor* temen smpmu ihhh… ya maklum sih kamu lupa, karena kita nggak pernah sekelas. “(sambil cengengesan)

Saya: (Merhatiin dari ujung kaki sampai ubun-ubun. Lalu tertawa) “Hloooo kamu *sensor* ternyataaa! Yaampun abis kamu beda banget sih, kukira siapa! Hehe” kemudian kami saling berjabat tangan dan terus mengobrol tentang kesibukan masing-masing.
Saat itu saya kaget setengah mati kalau cewek asing berkerudung ini adalah si Mimin. Saya pangling loh. Penampilannya berubah 180derajat! Tidak! Bahkan 360derajat! Memang sekarang Mimin telah memakai jilbab, namun ada yang aneh… saya lihat baju yang dia pakai. Celana jins denim ketat plus atasan manset warna putih dipadu dengan bolero jins yang panjangnya tidak sampai pusar. Serba ketat! Dari ujung sandal sampai atas dada serba ketat! Hanya kerudung kain saja yang terkesan longgar, tapi seperti hanya sekedar sebagai penutup kepala saja, Tanpa memedulikan ekor rambut yang terlihat balapan dengan panjang kerudungnya! Sungguh. Sebagai penganut agama Islam. Biarpun saya belum total dalam berhijab. Penampilan Mimin secara nggak langsung sebenarnya menurunkan kualitas estetika dari fungsi jilbab itu sendiri. Sebenarnya masih banyak Mimin-mimin yang lain yang pernah saya lihat, dan itu menunjukkan betapa jilboobs secara nggak langsung menurunkan harga diri mereka. Padahal seharusnya dengan berhijab yang baik justru akan membuat diri mereka terlihat lebih indah dan bersahaja. Bukannya malah tatapan sinis orang-orang yang melihatnya, bahkan tak jarang para lelaki yang melirik mereka.

Saya fikir keputusan untuk memakai jilbab seharusnya benar-benar atas dorongan hati. Bukan hanya sekedar ikut-ikut teman atau trends hijab belaka. Karena yang namanya kerudung kan berhubungan dengan simbol keagamaan, yaitu agama Islam. Kerudung bukan hanya sekedar penutup kepala, nggak bisa disamakan dengan topi, atau sejenisnya. Kerudung punya konsekuensi. Ibarat kamu sedang berlari lalu berkeringat. Kamu tahu kalau kamu berlari kamu akan berkeringat, kalau nggak mau keringetan ya jangan berlari. Kalau ingin memutuskan untuk berkerudung, ya harus terima konsekuensi-konsekuensinya, kalau ada yang nggak diambil, akan ada ketidakseimbangan. Konsekuensinya adalah, sekali memakai kerudung, baju harus selalu tertutup, omongan dijaga, kalau ketawa nggak cekikikan, nggak bersentuhan sama yang bukan mukhrim, dan masih banyak lagi. Makanya nggak sembarangan kan orang mau pake kerudung seenaknya. Bukan berarti orang yang berkerudung nggak pernah macam-macam. Atau bukan berarti orang yang nggak pake kerudung suka macam-macam. #ahelah# Saya sebagai orang yang masih diambang kegalauan antara memakai kerudung atau belum, merasa mendapat pencerahan dari Koran yang saya baca kemaren-kemaren, ada seorang anak guru besar ulama, namanya Najwa. Dia hafal beberapa ayat Al-Quran dan terkenal dengan hobinya bersedekah dan membantu orang-orang kurang mampu. Hanya saja dia belum berkerudung, banyak orang menyarankan kepada Najwa akan lebih sempurna jika ia mau memakai kerudung, dan saya kagum atas jawaban Najwa. Kurang lebihnya seperti ini
“Ada dua tipe alasan wanita jika ditegur agar ia memakai kerudung. Wanita pertama menjawab ‘yang penting hatinya dulu dikerudungin dari pada berjilbab tapi hati masih kotor!!’ lalu wanita kedua menjawab ‘saya tahu ada kewajiban untuk berjilbab, tapi sejauh ini saya belum bisa mengenakannya. Doakan saja agar suatu saat saya mendapat tanda agar bisa mengenakannya’. Alasan wanita pertama lebih seperti membela dirinya, karena biasanya dengan alasan semacam itu dia akan terus mengelak dan pada akhirnya tidak memakai jilbab. Sedangkan alasan wanita kedua, ia berani mengakui ketidaksanggupannya untuk memakai kerudung, namun ia mau berusaha mencari kemantapan agar suatu saat ia bisa mengenakannya.”

Dari situ saya berfikir, bahwa bukan hanya soal hati dulu yang berjilbab atau sebaliknya. Tetapi harus mengambil resiko keduanya, agar tetap seimbang tanpa memberatkan konsekuensi satu sama lain.
Hmm…

Sabtu, 20 Juni 2015

Bukan Sekedar Puisi

Apa kata pertama yang baik untuk puisi?

Aku tidak seperti penyair yang pandai merangkai kata-kata
Jika penyair handal dalam membuat syair indah, aku hanya bisa membuat kata-kata sederhana saja
Sesuai isi hati dan keinginan semata
Karena aku memang bukan seorang penyair
Hanya seonggok daging yang terbungkus kulit manusia
Selalu mengeluh dan merenung
Yang tak pernah bersyukur bahkan ketika ia dirundung suka cita
Mungkin ia lupa dari mana asalnya
Dan kepada siapa ia harus menengadahkan tangan
Selalu menitikkan air mata sebagai penyesalan dalam hidupnya
Namun apakah ia pernah berfikir?
Bahwa masih banyak kebahagiaan kecil yang bisa ia rasakan dari orang-orang yang menyayanginya
Kebahagiaan yang sederhana